Friday, August 23, 2019


 By Admin PAUD,  Ruang  Guru
Polemik membaca dan menulis bagi anak usia dini masih menjadi pro dan kontra. Ada yang berpendapat membaca bagi anak usia dini berarti memaksakan anak untuk memiliki kemampuan yang seharusnya baru diajarkan di Sekolah Dasar (SD).    Sebagian lain berpendapat, tidak masalah mengajarkan membaca sejak anak usia dini, agar anak memiliki kesiapan ketika masuk SD. Selain itu kemampuan membaca merupakan salah satu syarat untuk masuk SD. Permasalahan tersebut, membuat orangtua menjadi bingung, mana yang harus diikuti.
Mengenai kontroversi bisa tidaknya anak usia dini diberikan materi pelajaran membaca, R. Ella Yulaelawati R., M.A. Ph.D, Direktur Pembinaan PAUD mengatakan yang dibutuhkan anak usia dini adalah keaksaraan awal. Hal tersebut disampaikan ketika menjadi pembicara pada seminar “Peran Orangtua Dalam Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Anak Usia Dini”, yang dilaksanakan oleh Yayasan Citra Pendidikan Indonesia.
Dasar Hukum
Untuk calistung, sudah ada larangan melalui ederan dirjen PAUD dan Dikmas. Dan untuk mematahkan argumen bahwa tetap dikehendaki calistung, karena SD-SD mengetes calon peserta didik baru dengan calistung, itu sudah ada ederan dari Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah bahwa untuk masuk SD itu tidak diharuskan anak-anak ikut tes calistung, urai Ella Yulaelawati,  
Selain itu menurut Direktur Pembinan PAUD, untuk mengkaji tentang membaca bagi anak usia dini dapat merujuk peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 146 tahun 2014 tentang kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini. Dalam pasal 5 dimuat bahwa struktur kurikulum PAUD membuat program-program pengembangan yang mencakup; nilai agama dan moral, fisik-motorik, kognitif, bahasa, sosial-emosional, dan seni. Serta Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 137 Tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini, pasal 10 berbunyi “keaksaraan, mencakup pemahaman terhadap hubungan bentuk dan bunyi huruf, meniru bentuk huruf, serta memahami kata dan cerita”.
“Jadi memahami kata dan cerita itu tidak dilarang, meniru bentuk hurup tidak dilarang. Untuk kita harus memahami kurikulum PAUD, agar kita dapat memahami apa yang dianjurkan dan apa yang dilarang, itu harus diketahui”, tegas Ella Yulaelawati.
Menurut Ella Yulaelawati, pada prinsipnya Kurikulum PAUD 2013, mendorong pengembangan optimal potensi peserta didik melalui pengalaman belajar bermakna. Yakini melalui bermain, untuk menumbuhan sikap spritul, sikap sosial, pengetahuan, dan keterampilan agar mereka memiliki kesiapan menempuh jenjang pendidikan selanjutnya. Namun banyak yang sempit menafsirkan kesiapan menempuh jenjang pendidikan selanjutnya dengan kemampuan baca, tulis, dan hitung. Sehingga sampai saat ini tetap ada orangtua yang menganjurkan anaknya kursus membaca, menulis,  dan berhitung. Dan ini salah besar, kalau anak belum siap.
“Sebagaimana kemampuan visual, kognitif, mendengarkan sejak janin memang dianjurkan. Tetapi apakah dalam ketegori membaca teknis, yang membutuhkan pengkodean terhadap simbol dan huruf-huruf dan juga pemaham kemampuan anak. Sederhananya begini, apakah anak-anak usia rata-rata 1 tahun bisa berjalan. Untuk bisa jalan pertama kali membalikkan badan, tengkurap, duduk, merangkak baru bisa pintar jalan. Membaca juga demikian, apalagi otaknya sedang berkembang. Kalau anak dipaksa  usia 1 tahun semuanya harus bisa jalan nanti kakinya ada bengkok, ada yang huruf O kalau belum siap. Sekarang ibu-ibu menggunakan Baby walker padahal kaki-kakinya belum tumbuh sempurna, nah itu berpengaruh besar pada perkembangan kaki anak. Nah demikian juga perkembangan otak kalau dikursuskan membaca”, terang Ella Yulaelawati.
Kompetensi Inti Kurikulum PAUD 2013
Selanjutnya Ella Yulaelawati mengatakan, pada Kompetensi Inti kurikulum PAUD 2013 yang berkaitan dengan membaca (K1-4), disebutkan menunjukkan yang diketahui, dirasakan, dibutuhkan, dan dipikirkan melalui bahasa, musik, gerakan, dan karya secara produktif, dan kreatif, serta mencerminkan perilaku anak berakhlak mulia. Tidak disebut calistung.
“Ada memang yang menunjukkan membaca didalam kurikulum PAUD. Dari kompetensi dasar, K.1.10 disebutkan  menunjukkan kemampuan berbahasa reseptif (menyimak dan membaca). Tapi lihat indikatornya (4.1.10) untuk usia 4-5 tahun, yaitu menceritakan kembali apa yang didengar dengan kosa kata yang terbatas. Usia 5-6 tahun, yaitu  menceritakan kembali apa yang didengar dengan kosakata yang lebih. Maksudnya menyimak dan membaca disini adalah, orang dewasa membaca atau dongeng yang diceritakan, kemudian anak menceritakan kembali apa yang didengar dengan kosa kata terbatas untuk anak usia 4-5 tahun, dan kosa kata lebih bagi anak usia 5-6 tahun”, jelas Ella Yulaelawati.
Keaksaraan Konvensional
Menurut Direktur Pembinaan PAUD, membaca adalah kunci belajar. Memang betul anak yang mempunyai pengalaman terhadap bahan cetak akan mempunyai dasar-dasar kemampuan untuk membaca, dan membaca adalah fondasi untuk belajar kemampuan belajar lainnya. Kosa kata dan kalimat serta kemampuan berbahasa kebanyakan diperoleh dari membaca atau melalui bahasa tulis.
“Tapi apakah harus mengajar membaca di PAUD?, jawabnya tidak. Tidak mengajar membaca, tidak mengajar membaca bunyi, tidak keaksaraan konvensional. Tetapi harus, harus, dan wajib keaksaraan awal atau pra-keaksaraan”, ungkap Ella Yulaelawati.
Selanjutnya beliau menjelaskan, apa yang tidak boleh, yang tidak boleh  adalah keaksaraan konvensional. Dimana mengajar membaca yang memuat komponen reseptif yang meliputi ketepatan pengkodean, kelancaran pengkodean, dan pemahaman bacaan. Karena anak dapat mengkodekan hal-hal/kosakata yang dapat dipahami, tetapi anak tidak dapat memahami hal-hal yang tidak dapat dikodekan. Jadi membaca itu melibatkan 2 hal. Pertama kemampuan pengkodean dan kedua kemampuan pemahaman”
Anak akan mengalami kesulitan membaca bila, 1. Kurang kesempatan berlatih dengan aksara. 2. Kurang kesempatan mengembangkan strategi memahami bacaan. 3. Sering berlatih membaca di luar kemampuannya. 4. Mempunyai pengalaman negatif terhadap membaca. Atau dipaksa/terpaksa membaca di luar minatnya.
Pada kesempatan tersebut Ella Yulaelawati mengingatkan bahwa, kita sering mendengar bonus demokrafi. Sekarang ini anak usia dini ada 19 juta, kalau 19 juta ini diberikan calistung yang tidak bermakna. Maka 19 juta di tahun 2030 atau 15 tahun kemudian, kalau mahasiswa sulit menulis skripsi. Karena dia mempunyai pengalaman negatif terhadap membaca. Apakah itu yang kita inginkan dengan bonus demografi. Lalu alih-alih mendapat bonus 2045 angkatan kerja yang berkualitas, tapi kita hanya mendapat angkatan kerja yang menjadi beban pemerintah, oleh karena itu, apa yang diharuskan adalah keaksaraan awal.
Keaksaraan Awal
Direktur Pembinaan PAUD berpendapat bahwa, Pra-keaksaraan atau keaksaraan awal adalah istlah yang digunakan untuk menjelaskan kemampuan anak dalam menggunakan aksara atau membaca dan menulis yang dikuasai sebelum anak belajar cara membaca dan menulis.
“Jadi jangan dikira anak tidak punya keaksaraan awal. Anak yang tidak diajar karena sering dibiasakan bersentuhan dengan aksara. Contohnya Nak tolong bawain majalah kompas,  anak tidak akan membawa majalah tempo, dia bisa membaca gambar. Tapi bukan dia membaca kompas,  tapi dia memahami bentuk-bentuk huruf, misalnya dia bisa membedakan spiderman atau superman” ucap  Ella Yulaelawati. 
Keaksaraan awal merupakan tanda bahwa anak, bahkan sejak usia satu atau dua tahun sudah berproses untuk menjadi aksarawan. Ini yang harus ditumbuhkan, yaitu proses untuk menjadi aksarawan, bukan untuk menjadi anak menjadi pintar calistung, yang pintar menjawab teks/soal. Menurut Ella Yulaelawati Keaksaraan awal merupakan tatanan fondasi untuk mengusai kemampuan membaca dan menulis serta berhitung yang menyenangkan. Keadaan keaksaraan awal ini harus dikembangkan dengan baik di PAUD dan tidak dialihkan dengan penguasaan keaksaraan konvensional yang akan melelahkan anak dan menimbulkan pengalaman negatif terhadap membaca dan menulis. Keaksaraan awal dapat dibangun sejak bayi dan di usia dini melalui peran serta orang dewasa dalam kegiatan bermakna yang melibatkan berbicara dan aksara.
Keaksaraan awal dapat membangun calon pembaca yang berminat baca dengan menguasai: 1. Bahasa lisan. 2. Lingkungan beraksara . 3. Pengetahuan abjad melalui bernyanyi; 4. Makna bunyi. 5. Pemahaman visual-gambar bola, buah, bunga. 6 Konsep bahan cetak (Tulisan yang dikenal anak, seperti: TV, dora, spiderman). 7 Bahasa tulis-pengetahuan tentang buku. 8 Seolah membaca–meniru membaca. Dan 9. Seolah menulis–meniru menulis.
Jadi Periode anak usia dini merupakan masa peka untuk semua perkembangan anak, sehingga dalam pembelajaran Pra-Keaksaraan diharapkan peran guru lebih banyak menstimulasi, membimbing, dan mengasuh dengan memberikan bermain yang bermakna, aman, nyaman dan menyenangkan  sesuai tahap perkembangan anak, sehingga anak mampu menumbuhkan lebih  banyak penguasaan kosa kata. Anak mampu mendongeng, jangan hanya gurunya saja yang mendogeng. Anak juga mampu membacakan kembali buku imajinatif yang kreatif, dan mampu menjelajah kekayaan bahasa serta dapat menikmati lingkungan beraksara, ujar Ella Yulaelawati.
Kegiatan Bermain Yang Mengembangkan Bahasa Lisan
Menurut Ella Yulaelawati, kegiatan bermain dengan anak dapat mengembangkan bahasa lisan, diantaranya melalui:
  1. Bermain Drama
Gunakan pakaian, assesoris, nyanyian, tarian yang dapat mendramakan suatu cerita sehingga disukai anak. Bermain seperti ini, melibatkan anak dalam mengalami pelibatan bahasa dan membantu mereka mengerti perlunya membaca untuk memahami sesuatu.


  1. Bermain Balok.
Kadang bermain balok, bermain balok saja, tidak dikenalkan perolehannya. Guru bisa membandingkan, menjelaskan, lalu mengembangkan kemampuan kosa kata yang berkaitan dengan bentuk-bentuk bangunan, menara, jembatan atau struktur alam seperti pohon, batu dan gunung, untuk belajar kosakata tentang struktur.  Bermain mengembangkan bahasa ketika anak-anak berbicara bersama anda, membandingkan, menjelaskan dan memberi nama pada struktur-struktur yang telah diciptakan oleh mereka.
  1. Bermain menggunakan permainan sendiri
Hal ini bisa dilakukan misalnya dengan mengumpulkan benda-benda yang dimulai dengan huruf “D”, misalnya daun, dadu, donat, duku, dll.
  1. Menyanyi bersama anak
Musik dan nyanyian adalah hal yang penting dalam mengembangkan pengenalan bunyi dan suara, khususnya yang digunakan untuk mengucapkan huruf.  Selain itu menyanyikan lagu yang memuat irama dan cerita membantu anak untuk mempelajari huruf baru sebagaimana mereka memahami irama  dan isi lagu. Hal itu juga membantu untuk mengembangkan kemampuan anak dalam mencipta isi dan lagu  sendiri.
Banyak anak-anak secara alami tertarik untuk bergumam atau menyanyikan lagu. Hal itu juga bermanfaat untuk membangun ketertarikan anak terhadap musik dan meningkatkan perkembangan keaksaraan anak pada waktu yang sama. Hal ini dapat dilakukan dengan bermain permainan lagu alphabet dengan anak dengan mencari benda-benda misalnya yang dimulai dengan huruf “B”  bola, boneka, bunga dan seterusnya. Guru dan orangtua dapat membantu mereka untuk menjelaskan kosakata yang disebutkan anak-anak.
  1. Membaca bersama anak
Ketika membaca bersama anak, minta mereka menjelaskan mengenai cerita apa yang telah mereka baca. Membaca bersama-sama membantu anak untuk mengekspresikan diri mereka sendiri secara verbal.
Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dapat lebih mempelajari tentang huruf dan kosakata ketika orangtua membaca bersama-sama dengan mereka. Serta meminta anak-anak untuk menceritakan cerita yang mereka baca. Hal ini bisa dilakukan dengan menyuruh anak-anak melihat hanya pada gambar yang ada dalam buku, bukan kata-katanya, kemudian minta mereka untuk menceritakan isi cerita berdasarkan gambar dari buku yang dibaca bersama.
Pada prinsipnya kemampuan Pra Keaksaraan Anak Usia Dini meliputi; 1. Berbicara secara positif dan akurat berdasarkan kosa kata yang didengarnya. 2. Mendengarkan, mengajukan pertanyaan dan menjawab pertanyaan dengan bahasa yang baik. 3. Menyampaikan dan menceritakan dongeng atau bacaan yang didengarnya. 4. Meniru/mengekspresikan karakter tokoh-tokoh baik dan menghindar dari karakter negatif. dan 5. Mengatasi emosi seperti rasa takut, cemburu, marah atau meluapkan kegembiraan yang sehat dari dongeng atau bacaan yang didengarnya.
Diakhiri materinya Direktur Pembinaan PAUD mengingatkan bahwa hal-hal yang harus dihindari yaitu: 
1. Mengajarkan membaca tidak sesuai perkembangan anak. 2. “Memaksakan” anak belajar membaca bunyi tanpa makna. 3.  Memberikan lembaran kerja berlebihan. Dan 4. Menganjurkan orangtua agar anak ikut kursus membaca. 

Evaluasi Perkembangan anak dalam Montessori

Sunday, February 3, 2019


How to Evaluate the Progress of a Montessori Child


Most Montessori schools and homes do not use grades or test scores as a way to evaluate children’s progress. While it’s wonderful that we don’t subject children to these sorts of assessments, which are often arbitrary and biased, it can be hard to find a meaningful way to estimate their progress. How can we measure children’s growth and development in a way that lets us know how they’re doing without using tests or grades?
Another important (and related) question is this: how can we know if a child is having an authentic Montessori experience? In other words, is the child truly receiving the full benefit of the prepared environment, the materials, and the Montessori philosophy? Knowing the answers to these questions will help us as we decide which materials to present, how to arrange (or re-arrange) the environment, and how to work with each child.


The best assessment of each child will include several things:
1. First of all, there should be some kind of chart, list, or schematic indicating what work has been completed by the child. To make it even more useful, you can indicate whether or not a child has been shown how to do the work, actually done it themselves, or even mastered it (or all three, if indicated).

2. The second part of the evaluation can include the child’s own work; samples of written work, creative writing, drawing, art projects, and even photographs of the child’s work can be included. (I’ll be authoring a separate post on assembling a child’s work portfolio soon).

3. The third part of the assessment should include a written portion that summarizes the child’s progress as observed by the teacher. Observation notes can be included to support the conclusions. It’s helpful to briefly mention the general characteristics of a Montessori child and how this particular child is moving ahead in each area.

What characteristics should we be looking for in a Montessori child?
The Montessori method is practiced in dozens of countries around the world, in differing cultures and in many languages. There are public and private Montessori schools, Montessori homeschools, large schools and small schools, AMS schools and AMI schools.
Given those differences, are there consistent traits that show up in Montessori children regardless of the type of school they attend or area of the world in which they live? There are! Regardless of where and how the child experiences Montessori, you should be able to see these the following traits – even if just in glimpses.



Eight ( 8 )characteristics of the authentic Montessori experience:
1.           Independence - mandiri
Besides the obvious displays of independence like being able to choose work for oneself, there is a certain autonomy that marks the Montessori child. They are used to doing things themselves rather than having an adult do everything for them.
2.         Confidence - percaya diri
The Montessori child approaches life’s challenges confidently. They may not know the answer or solution to every problem, but they know where to find help if they need it. This is not an arrogant confidence that presumes to be right at everything, but the kind of confidence that allows a child to try new things and be adventurous.
3  .        Self-discipline - disiplin diri
Self-discipline enables children to make the right choices without adult intervention. The child cannot achieve self-discipline without instruction and help from the teachers and parents. Guiding a child’s inner development is not something that can be done overnight; it’s a long-term process that focuses on incremental improvements.
4.         Intrinsic motivation - motovasi dalam diri
The idea behind the beautifully prepared environment of the Montessori classroom is that each material – and indeed, the set-up of the entire classroom – will appeal to the child’s inner needs. The teacher should never need to force a child into doing work. The child will instinctively know what they need to do. If the teacher or parent is always giving direction, the child will never get a chance to hear that “inner voice”.
5.           Ability to handle external authority - mampu mengontrol diri
One popular misconception of Montessori is that children are allowed to run around and misbehave and basically do anything they want to with no interference on the teacher’s part. Nothing could be further from the truth. The child in the Montessori environment is treated with respect, but is expected to respect the teacher, the materials, and the other members of the class as well. Strong-willed children find it very difficult to handle external authority, but with time and patience can begin to graciously follow directions when necessary.
· 6.        Academic achievement - pencapaian academic
While we don’t wish to make academics the cornerstone of a Montessori education, they are indeed important. Each child will develop differently, but there should always be some progress over time. Montessori may have more elastic boundaries when it comes to grade-level expectations, but there are still general skills to be mastered in the 3-year cycles. It’s important to know which materials are presented in each level, and whether or not the child has completed them successfully.
Many Montessori schools avoid standardized testing, but it’s perfectly acceptable to evaluate kids with short, informal one-on-one sessions with an adult. The child may be asked to complete the
work (or some part of it) so that the adult can note whether or not further instruction is needed. These can be repeated if necessary, and progress can be noted from one evaluation to another.
7.           Spiritual awareness - pemahaman, kesadaran spiritual
The Montessori philosophy recognizes that a child has more than just a mind and body: they possess a soul as well. The child’s soul needs to be nourished through art, music, literature, nature, moral lessons, religious instruction, and relationships. A Montessori child will have appreciation and respect for spiritual issues, and for other people as spiritual beings.
8.  Responsible citizenship - warganegara yang bertanggung jawab
Since the Montessori curriculum stresses the interdependence of all living things, global awareness will come quite naturally to the Montessori child. They will be interested in current events, in helping others less fortunate than themselves, and in treating our planet kindly.