Polemik membaca dan menulis bagi anak usia dini masih menjadi pro dan
kontra. Ada yang berpendapat membaca bagi anak usia dini berarti memaksakan
anak untuk memiliki kemampuan yang seharusnya baru diajarkan di Sekolah Dasar
(SD). Sebagian lain berpendapat, tidak masalah mengajarkan
membaca sejak anak usia dini, agar anak memiliki kesiapan ketika masuk
SD. Selain itu kemampuan membaca merupakan salah satu syarat untuk masuk
SD. Permasalahan tersebut, membuat orangtua menjadi bingung, mana yang harus
diikuti.
Mengenai kontroversi bisa tidaknya anak usia dini diberikan materi
pelajaran membaca, R. Ella Yulaelawati R., M.A. Ph.D, Direktur Pembinaan PAUD
mengatakan yang dibutuhkan anak usia dini adalah keaksaraan awal. Hal tersebut
disampaikan ketika menjadi pembicara pada seminar “Peran Orangtua Dalam
Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Anak Usia Dini”, yang dilaksanakan oleh
Yayasan Citra Pendidikan Indonesia.
Dasar Hukum
Untuk calistung, sudah ada larangan melalui ederan dirjen PAUD dan Dikmas.
Dan untuk mematahkan argumen bahwa tetap dikehendaki calistung, karena SD-SD
mengetes calon peserta didik baru dengan calistung, itu sudah ada ederan dari
Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah bahwa untuk masuk SD itu tidak diharuskan
anak-anak ikut tes calistung, urai Ella Yulaelawati,
Selain itu menurut Direktur Pembinan PAUD, untuk mengkaji tentang membaca
bagi anak usia dini dapat merujuk peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Nomor 146 tahun 2014 tentang kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini. Dalam
pasal 5 dimuat bahwa struktur kurikulum PAUD membuat program-program
pengembangan yang mencakup; nilai agama dan moral, fisik-motorik, kognitif,
bahasa, sosial-emosional, dan seni. Serta Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 137 Tahun 2013 tentang Standar Nasional
Pendidikan Anak Usia Dini, pasal 10 berbunyi “keaksaraan, mencakup pemahaman
terhadap hubungan bentuk dan bunyi huruf, meniru bentuk huruf, serta memahami
kata dan cerita”.
“Jadi memahami kata dan cerita itu tidak dilarang, meniru bentuk hurup
tidak dilarang. Untuk kita harus memahami kurikulum PAUD, agar kita dapat
memahami apa yang dianjurkan dan apa yang dilarang, itu harus diketahui”, tegas
Ella Yulaelawati.
Menurut Ella Yulaelawati, pada prinsipnya Kurikulum PAUD 2013, mendorong
pengembangan optimal potensi peserta didik melalui pengalaman belajar bermakna.
Yakini melalui bermain, untuk menumbuhan sikap spritul, sikap sosial,
pengetahuan, dan keterampilan agar mereka memiliki kesiapan menempuh jenjang
pendidikan selanjutnya. Namun banyak yang sempit menafsirkan kesiapan menempuh
jenjang pendidikan selanjutnya dengan kemampuan baca, tulis, dan hitung.
Sehingga sampai saat ini tetap ada orangtua yang menganjurkan anaknya kursus
membaca, menulis, dan berhitung. Dan ini salah besar, kalau anak belum
siap.
“Sebagaimana kemampuan visual, kognitif, mendengarkan sejak janin memang
dianjurkan. Tetapi apakah dalam ketegori membaca teknis, yang membutuhkan
pengkodean terhadap simbol dan huruf-huruf dan juga pemaham kemampuan anak.
Sederhananya begini, apakah anak-anak usia rata-rata 1 tahun bisa berjalan.
Untuk bisa jalan pertama kali membalikkan badan, tengkurap, duduk, merangkak
baru bisa pintar jalan. Membaca juga demikian, apalagi otaknya sedang
berkembang. Kalau anak dipaksa usia 1 tahun semuanya harus bisa jalan
nanti kakinya ada bengkok, ada yang huruf O kalau belum siap. Sekarang ibu-ibu
menggunakan Baby walker padahal kaki-kakinya belum tumbuh
sempurna, nah itu berpengaruh besar pada perkembangan kaki anak. Nah demikian
juga perkembangan otak kalau dikursuskan membaca”, terang Ella Yulaelawati.
Kompetensi Inti Kurikulum PAUD 2013
Selanjutnya Ella Yulaelawati mengatakan, pada Kompetensi Inti kurikulum
PAUD 2013 yang berkaitan dengan membaca (K1-4), disebutkan menunjukkan yang
diketahui, dirasakan, dibutuhkan, dan dipikirkan melalui bahasa, musik,
gerakan, dan karya secara produktif, dan kreatif, serta mencerminkan perilaku
anak berakhlak mulia. Tidak disebut calistung.
“Ada memang yang menunjukkan membaca didalam kurikulum PAUD. Dari
kompetensi dasar, K.1.10 disebutkan menunjukkan kemampuan berbahasa
reseptif (menyimak dan membaca). Tapi lihat indikatornya (4.1.10) untuk usia
4-5 tahun, yaitu menceritakan kembali apa yang didengar dengan kosa kata yang
terbatas. Usia 5-6 tahun, yaitu menceritakan kembali apa yang didengar
dengan kosakata yang lebih. Maksudnya menyimak dan membaca disini adalah, orang
dewasa membaca atau dongeng yang diceritakan, kemudian anak menceritakan
kembali apa yang didengar dengan kosa kata terbatas untuk anak usia 4-5 tahun,
dan kosa kata lebih bagi anak usia 5-6 tahun”, jelas Ella Yulaelawati.
Keaksaraan Konvensional
Menurut Direktur Pembinaan PAUD, membaca adalah kunci belajar. Memang betul
anak yang mempunyai pengalaman terhadap bahan cetak akan mempunyai dasar-dasar
kemampuan untuk membaca, dan membaca adalah fondasi untuk belajar kemampuan
belajar lainnya. Kosa kata dan kalimat serta kemampuan berbahasa kebanyakan
diperoleh dari membaca atau melalui bahasa tulis.
“Tapi apakah harus mengajar membaca di PAUD?, jawabnya tidak. Tidak
mengajar membaca, tidak mengajar membaca bunyi, tidak keaksaraan konvensional.
Tetapi harus, harus, dan wajib keaksaraan awal atau pra-keaksaraan”, ungkap
Ella Yulaelawati.
Selanjutnya beliau menjelaskan, apa yang tidak boleh, yang tidak boleh
adalah keaksaraan konvensional. Dimana mengajar membaca yang memuat
komponen reseptif yang meliputi ketepatan pengkodean,
kelancaran pengkodean, dan pemahaman bacaan. Karena anak dapat mengkodekan
hal-hal/kosakata yang dapat dipahami, tetapi anak tidak dapat memahami hal-hal
yang tidak dapat dikodekan. Jadi membaca itu melibatkan 2 hal. Pertama
kemampuan pengkodean dan kedua kemampuan pemahaman”
Anak akan mengalami kesulitan membaca bila, 1. Kurang kesempatan berlatih
dengan aksara. 2. Kurang kesempatan mengembangkan strategi memahami bacaan. 3.
Sering berlatih membaca di luar kemampuannya. 4. Mempunyai pengalaman negatif
terhadap membaca. Atau dipaksa/terpaksa membaca di luar minatnya.
Pada kesempatan tersebut Ella Yulaelawati mengingatkan bahwa, kita sering
mendengar bonus demokrafi. Sekarang ini anak usia dini ada 19 juta, kalau 19
juta ini diberikan calistung yang tidak bermakna. Maka 19 juta di tahun 2030
atau 15 tahun kemudian, kalau mahasiswa sulit menulis skripsi. Karena dia
mempunyai pengalaman negatif terhadap membaca. Apakah itu yang kita inginkan
dengan bonus demografi. Lalu alih-alih mendapat bonus 2045 angkatan kerja yang
berkualitas, tapi kita hanya mendapat angkatan kerja yang menjadi beban
pemerintah, oleh karena itu, apa yang diharuskan adalah keaksaraan awal.
Keaksaraan Awal
Direktur Pembinaan PAUD berpendapat bahwa, Pra-keaksaraan atau keaksaraan
awal adalah istlah yang digunakan untuk menjelaskan kemampuan anak dalam
menggunakan aksara atau membaca dan menulis yang dikuasai sebelum anak belajar
cara membaca dan menulis.
“Jadi jangan dikira anak tidak punya keaksaraan awal. Anak yang tidak
diajar karena sering dibiasakan bersentuhan dengan aksara. Contohnya Nak tolong
bawain majalah kompas, anak tidak akan membawa majalah tempo, dia bisa
membaca gambar. Tapi bukan dia membaca kompas, tapi dia memahami
bentuk-bentuk huruf, misalnya dia bisa membedakan spiderman atau superman”
ucap Ella Yulaelawati.
Keaksaraan awal merupakan tanda bahwa anak, bahkan sejak usia satu atau dua
tahun sudah berproses untuk menjadi aksarawan. Ini yang harus ditumbuhkan,
yaitu proses untuk menjadi aksarawan, bukan untuk menjadi anak menjadi pintar
calistung, yang pintar menjawab teks/soal. Menurut Ella Yulaelawati Keaksaraan
awal merupakan tatanan fondasi untuk mengusai kemampuan membaca dan menulis
serta berhitung yang menyenangkan. Keadaan keaksaraan awal ini harus
dikembangkan dengan baik di PAUD dan tidak dialihkan dengan penguasaan
keaksaraan konvensional yang akan melelahkan anak dan menimbulkan pengalaman
negatif terhadap membaca dan menulis. Keaksaraan awal dapat dibangun sejak bayi
dan di usia dini melalui peran serta orang dewasa dalam kegiatan bermakna yang
melibatkan berbicara dan aksara.
Keaksaraan awal dapat membangun calon pembaca yang berminat baca dengan
menguasai: 1. Bahasa lisan. 2. Lingkungan beraksara . 3. Pengetahuan abjad
melalui bernyanyi; 4. Makna bunyi. 5. Pemahaman visual-gambar bola, buah,
bunga. 6 Konsep bahan cetak (Tulisan yang dikenal anak, seperti: TV, dora,
spiderman). 7 Bahasa tulis-pengetahuan tentang buku. 8 Seolah
membaca–meniru membaca. Dan 9. Seolah menulis–meniru menulis.
Jadi Periode anak usia dini merupakan masa peka untuk semua perkembangan
anak, sehingga dalam pembelajaran Pra-Keaksaraan diharapkan peran guru lebih
banyak menstimulasi, membimbing, dan mengasuh dengan memberikan bermain yang
bermakna, aman, nyaman dan menyenangkan sesuai tahap perkembangan anak,
sehingga anak mampu menumbuhkan lebih banyak penguasaan kosa kata. Anak
mampu mendongeng, jangan hanya gurunya saja yang mendogeng. Anak juga mampu
membacakan kembali buku imajinatif yang kreatif, dan mampu menjelajah kekayaan
bahasa serta dapat menikmati lingkungan beraksara, ujar Ella Yulaelawati.
Kegiatan Bermain Yang Mengembangkan Bahasa Lisan
Menurut Ella Yulaelawati, kegiatan bermain dengan anak dapat mengembangkan
bahasa lisan, diantaranya melalui:
- Bermain
Drama
Gunakan pakaian, assesoris, nyanyian,
tarian yang dapat mendramakan suatu cerita sehingga disukai anak. Bermain
seperti ini, melibatkan anak dalam mengalami pelibatan bahasa dan membantu
mereka mengerti perlunya membaca untuk memahami sesuatu.
- Bermain
Balok.
Kadang bermain balok, bermain balok saja, tidak dikenalkan perolehannya.
Guru bisa membandingkan, menjelaskan, lalu mengembangkan kemampuan kosa kata
yang berkaitan dengan bentuk-bentuk bangunan, menara, jembatan atau struktur
alam seperti pohon, batu dan gunung, untuk belajar kosakata tentang struktur.
Bermain mengembangkan bahasa ketika anak-anak berbicara bersama anda,
membandingkan, menjelaskan dan memberi nama pada struktur-struktur yang telah
diciptakan oleh mereka.
- Bermain
menggunakan permainan sendiri
Hal ini bisa dilakukan misalnya dengan mengumpulkan benda-benda yang
dimulai dengan huruf “D”, misalnya daun, dadu, donat, duku, dll.
- Menyanyi
bersama anak
Musik dan nyanyian adalah hal yang penting dalam mengembangkan pengenalan
bunyi dan suara, khususnya yang digunakan untuk mengucapkan huruf. Selain
itu menyanyikan lagu yang memuat irama dan cerita membantu anak untuk
mempelajari huruf baru sebagaimana mereka memahami irama dan isi lagu.
Hal itu juga membantu untuk mengembangkan kemampuan anak dalam mencipta isi dan
lagu sendiri.
Banyak anak-anak secara alami tertarik untuk bergumam atau menyanyikan
lagu. Hal itu juga bermanfaat untuk membangun ketertarikan anak terhadap musik
dan meningkatkan perkembangan keaksaraan anak pada waktu yang sama. Hal ini
dapat dilakukan dengan bermain permainan lagu alphabet dengan anak dengan
mencari benda-benda misalnya yang dimulai dengan huruf “B” bola, boneka,
bunga dan seterusnya. Guru dan orangtua dapat membantu mereka untuk menjelaskan
kosakata yang disebutkan anak-anak.
- Membaca
bersama anak
Ketika membaca bersama anak, minta mereka menjelaskan mengenai cerita apa
yang telah mereka baca. Membaca bersama-sama membantu anak untuk mengekspresikan
diri mereka sendiri secara verbal.
Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dapat lebih mempelajari tentang
huruf dan kosakata ketika orangtua membaca bersama-sama dengan mereka. Serta
meminta anak-anak untuk menceritakan cerita yang mereka baca. Hal ini bisa
dilakukan dengan menyuruh anak-anak melihat hanya pada gambar yang ada dalam
buku, bukan kata-katanya, kemudian minta mereka untuk menceritakan isi cerita
berdasarkan gambar dari buku yang dibaca bersama.
Pada prinsipnya kemampuan Pra Keaksaraan Anak Usia Dini meliputi; 1.
Berbicara secara positif dan akurat berdasarkan kosa kata yang didengarnya. 2.
Mendengarkan, mengajukan pertanyaan dan menjawab pertanyaan dengan bahasa yang
baik. 3. Menyampaikan dan menceritakan dongeng atau bacaan yang didengarnya. 4.
Meniru/mengekspresikan karakter tokoh-tokoh baik dan menghindar dari karakter
negatif. dan 5. Mengatasi emosi seperti rasa takut, cemburu, marah atau
meluapkan kegembiraan yang sehat dari dongeng atau bacaan yang didengarnya.
Diakhiri materinya Direktur Pembinaan PAUD mengingatkan bahwa hal-hal yang
harus dihindari yaitu:
1. Mengajarkan membaca tidak sesuai perkembangan anak.
2. “Memaksakan” anak belajar membaca bunyi tanpa makna. 3. Memberikan
lembaran kerja berlebihan. Dan 4. Menganjurkan orangtua agar anak ikut kursus
membaca.